Hanya Satu Kartu

Berapa jumlah kartu kredit yang kau punya?
Kalau kau tanya aku, aku punya satu. Ya, s-a-t-u. Tidak, kau tidak salah membaca, dan aku tidak salah tulis. Satu kartu itu sudah semua. Tidak ada yang lainnya di dompetku, di sakuku, dan di lemari besiku.

Katamu, kartu kredit itu perlu untuk berjaga-jaga kalau kita atau keluarga kita sakit. Biaya rumah sakit bisa bikin orang yang sehat jadi sakit loh!
Tapi aku menyiapkan asuransi yang cukup untukku dan untuk orangtuaku. Kalau kelak aku bersatu dengan pasangan hidupku dan kami memiliki buah cinta, akan kami siapkan juga asuransi yang cukup untuk mereka.

Katamu, kartu kredit itu perlu untuk keadaan darurat yang tidak terduga. Misalnya, …ah, tak bisa diduga-duga! Namanya juga tak terduga…
Tapi aku menyiapkan dana cair di bank yang ku khususkan dan yang bisa kupakai kapanpun.

Katamu, kartu kredit itu perlu untuk mendapatkan diskon berbagai barang bermerek dan makanan enak di restoran kelas atas. Semakin bervariasi kartu yang kita punya, semakin besar akses diskon kita ke berbagai macam toko dan restoran.
Tapi kataku, semakin besar akses diskon kita, semakin besar kemungkinan kita membelanjakan barang yang tidak kita perlukan.

Katamu, memiliki banyak kartu kredit itu bergengsi, apalagi kalau kartunya Platinum.
Tapi bagiku, gengsi seseorang tidak ditentukan dari berapa banyak kartu platinum yang dimilikinya, melainkan dari kemampuannya membayar tunai semua tagihan kartunya pada waktunya.

Bagiku, memenuhi dompet dengan banyak kartu kredit berarti mengamulasi risiko kehilangan uang akibat penyalahgunaan kartu kredit. Kalau dompetku dicuri dan kartuku disalahgunakan, dengan asumsi limit per kartu sebesar 10 juta, maka risiko kehilangan uang yang kutanggung adalah 10 juta. Kalau aku punya 5 kartu kredit di dompetku, maka akumulasi risikonya menjadi 5 kali lipat! Ah, aku tidak sanggup menanggung akumulasi sebanyak itu!

Bagiku, semakin banyak kartu, semakin banyak yang harus kuurus. Semakin banyak yang harus kuurus, semakin sakit kepalalah aku. Mengingat tanggal jatuh tempo yang berbeda-beda, membayar tagihan, dan membujuk setiap bank setiap tahun untuk meniadakan iuran tahunan (siapa yang mau membayar 500 ribu untuk iuran tahunan 5 kartu?).

Tanyamu, bagaimana mungkin aku yang biasa melakukan perjalanan ke luar negeri ini bisa hidup hanya dengan satu kartu kredit.
Kawanku, pengeluaran terbesar dalam perjalanan adalah biaya hotel dan pesawat. Itu semua dibayarkan sebelum aku berangkat. Untuk hidup sehari-hari, aku menggunakan cek perjalanan (traveler cheque) bila perjalanan dinas, dan uang tunai secukupnya dan kartu kredit bila perjalanan pribadi. Memangnya mau belanja apa saja di luar negeri sampai-sampai perlu lebih dari satu kartu…? Ah, nanti aku tak akan bisa membayar 100% tagihan… Bunga kartu kredit sungguh tak indah, Kawan!

Tanyamu, “kecil nian limit kartumu! pasti lebih kecil dari gajimu sebulan! Kau perlu kartu lain yang memberi limit besar! Bagaimana jadinya kalau kau mau membeli barang yang harganya sangat mahal?”
Jawabku, barang apa yang kuperlukan yang harganya di atas limit kartuku saat ini? Tidak ada. Dan seandainya ada, aku akan bisa membelinya dengan kartu debitku.
Bila aku memiliki beberapa pengeluaran besar sehingga limitku habis padahal aku masih perlu menggunakan kartu kredit pada bulan yang sama, aku bisa membayar sebagian tagihan sebelum jatuh tempo, sehingga aku akan mempunyai limit kembali.

Tanyamu lagi, “kenapa kau akan bayar dengan kartu debit? Kenapa kau beli barang mahal dengan tunai? Kamu tahu kan, kartu kredit menawarkan cicilan 0%?”
Ya, aku tahu, Kawan. Tapi tahukah kau, saat kau membeli barang senilai 6 juta dengan cicilan 0% selama 6 bulan @1 juta, maka limit kartumu akan dibekukan sebesar 6 juta, walaupun jumlah tagihan yang harus kau bayar bulan depan hanya 1 juta. Aku tak mau menggunakan cicilan 0% karena ia mengurangi kebebasanku dalam menggunakan limit kartuku.

“Justru itu! Itu makanya kau harus punya kartu lain lagi!”, serumu.
Baiklah, keberitahukan 1 alasan lain lagi, kawan.
Ingatkah kau saat kita masih bersekolah, saat kita ingin memiliki suatu barang tetapi belum mempunyai penghasilan untuk membelinya? Kita menyisihkan uang saku sedikit demi sedikit; kita bekerja paruh waktu demi barang impian; kita rela membawa bekal makan dan minum dari rumah. Dan saat uang terkumpul dan barang impian ada ditangan, betapa bangga rasanya! Kerja keras, kesabaran, dan ketekunan mendatangkan buahnya!
Di dunia yang semakin instan dan konsumtif saat ini, aku tidak mau kehilangan kebanggaan atas kerja keras, kesabaran, dan ketekunan itu, Kawan…
Bagimu, alangkah nikmatnya bisa memiliki barang impian tanpa tunda.
Bagiku, alangkah nikmatnya bisa memiliki barang impian setelah berjerih lelah mengumpulkan uang!

“Baiklah, miss perfectionist… terserah kau sajalah… Tapi kupikir sebagai lulusan fakultas ekonomi salah satu universitas terbaik di negeri ini, kau seharusnya mengerti konsep present value of money. Daripada kau langsung mengeluarkan uang tunai 12 juta dari kartu debitmu untuk membeli laptop misalnya, lebih baik kau cicil 1 juta selama 1 tahun dengan kartu kredit bunga 0%. Sisa uang 11 juta yang belum harus dikeluarkan itu bisa diinvestasikan dulu”.
Aku mengerti, kawan. Justru karena aku mengerti, maka sebagian penghasilanku aku sisihkan untuk investasi. Hasil investasi itulah (bukan pokok uang investasi) yang kupakai untuk belanja barang konsumtif.
Dan kalau mau jujur, berapa banyak orang yang mengambil cicilan 0% dengan alasan akan menggunakan uang tunai yang terselamatkan itu untuk investasi? Bukankah sebagian besar memiliki motivasi ingin memiliki barang impian walau uang belum ada?

“Ah, sombong kamu! Hanya karena gajimu relatif tinggi sehingga kamu bisa menabung dan investasi, kamu memandang rendah orang yang membeli barang impian mereka dengan mencicil karena uang belum ada!”.
Oh, Kawan, tolong jangan salah mengerti aku. Banyak orang yang gajinya di bawahku, dan banyak orang yang gajinya di atasku. Besarnya gaji tidak selalu berbanding lurus dengan besarnya tabungan dan investasi seseorang. Aku tidak percaya orang berpenghasilan UMR tidak bisa menabung, dan aku tidak percaya orang berpenghasilan 8 digit rupiah PASTI memiliki investasi.
Kawan, aku tidak menuding bahwa mencicil itu adalah hal yang rendah. Yang aku mau katakan, bila seseorang bisa mencicil laptop sebesar 1 juta per bulan, kenapa ia tidak menggunakan uang 1 juta per bulan itu untuk “mencicil” tabungan atau investasi? Hasil tabungan atau investasi itulah yang digunakan untuk membeli laptop. Memang pembelian laptop menjadi tertunda, tapi kondisi keuangan akan lebih baik, kebebasan keuangan terjaga, dan kepuasan mewujudkan impian didapatkan.
Kawan, aku hanya berpikir, keuangan keluarga-keluarga Indonesia pasti menjadi lebih kuat bila setiap anggota keluarga belajar mendapatkan barang impian dengan bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian dan terbebas dari utang barang konsumtif. Uang sungguh memiliki pengaruh, Kawan. Pengelolaan keuangan keluarga yang kurang bijak bisa membuat keharmonisan keluarga berkurang.

Bagiku, kartu kredit adalah alat pembayaran, bukan uang tambahan. Uangku tersedia, tapi tak efisien bila tunai kubawa-bawa.

Ah, aku hanya ingin hidup sederhana dan jauh dari godaan utang yang menekan hidup yang sudah cukup tertekan ini.
Sudahlah, jangan bandingkan dirimu denganku. Kalau aku, aku cukup satu kartu.
Jakarta, 27 Januari 2012
Depok, 5 Februari 2012

  • mengingat cukup banyak komentar di kompas.com atas kasus Irzen Octa, yang mencerminkan ketidakmengertian mereka bahwa kartu kredit bukanlah penghasilan tambahan, melainkan utang yang harus dibayar;
  • mengingat teladan bos-ku yang hanya memiliki 2 kartu kredit;
  • mengingat temanku yang terkena hipnotis sehingga menggunakan berbagai macam kartu kreditnya untuk belanja si penghipnotis sehingga rugi 70 juta dan semua bank penerbit tetap memintanya melunasinya;
  • mengingat 2 mantan teman kantor yang gaya hidupnya dibiayai utang sehingga menggelapkan uang kantor dan akhirnya dipecat;
  • mengingat 3 kawan yang tidak bebas mengambil keputusan penting untuk pindah kerja ke pekerjaan impian karena gaji yang ditawarkan lebih rendah sedangkan masih ada cicilan;
  • mengingat Henry tersayang yang juga hanya memiliki 1 kartu kredit (walau limitnya berkali-kali lipat dari punyaku! *tepok jidat*);
  • mengingat pelajaran keuangan dari Donna Partow dalam bukunya “Becoming the Woman God Wants Me To Be”;
  • mengingat Alkitab yang berbicara lebih banyak tentang uang daripada tentang surga-neraka; dan
  • mengingat bahwa 100% uangku, bukan hanya 10%, adalah milikNya yang harus kukelola dengan bijak sehingga Dia tersenyum melihatku.
Catatan Penulis:
Penulis tidak mengatakan bahwa memiliki lebih dari 1 kartu kredit adalah hal yang salah. Selama Anda bisa membayar seluruh tagihan kartu kredit tepat waktu, Penulis akan acungkan jempol! 🙂
This entry was posted in from the mind and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment